DESA LAMA MUDA YANG KONTRADIKSI
Oleh: Muhammad Taufiq



Disini pernah berdiri kerajaan yang melegenda di Aceh Barat Daya, kerajaan Kuala Batee (Quallah Batoo). Kisaran tahun 1998-2003 Desa Lama Tuha/Muda yang terletak di bibir pantai Kecamatan Kuala Batee kabupaten Aceh Barat Daya masyarakatnya masih mencari-cari jati diri, desa dengan potensi sumberdaya alam yang sangat besar dikala itu masih terkurung dalam stempel desa tertinggal, menyebut nama desanya bagi masyarakat yang berada di desa sekitarnya langsung saja dikaitkan dengan stempel-stempel lainnya yang ber makna negatif. Bagaimana tidak, dalam kurun waktu tersebut diatas, dan masa sebelumnya, rumah yang permanen sangat jarang berdiri jika tidak mau disebut tidak ada, letak rumah yang jarang memberi kesan desa ini enggan ditempati para pemuda yang baru saja mengarungi rumah tangganya, pemuda dengan rumah tangga baru lebih menyenangi untuk menetap di desa sekitar, jadilah desa ini dengan jumlah penduduk yang tidak bertambah dari masa ke masa.
Konflik politik Aceh dengan Jakarta ikut menggerakkan warga Kuala Batee untuk bersikap, dan desa Lama Tuha yang terletak jauh dari pusat ibukota kecamatan menjadi tempat yang nyaman untuk berlindung dari usaha pemerintah menumpas pemberontakan yang berjuang untuk melepaskan diri dari invansi ekonomi Jakarta pada waktu itu. Secara langsung desa Lama Tuha menjadi desa yang menderita akibat konflik. Desa berdampak konflik militer dan status desa tertinggal, lengkap sudah. Berkali-kali mencoba bangkit untuk menjadi desa yang lebih baik dengan mencoba melepas stempel negatif, usaha ini telah dimotori oleh keuchik (kepala desa) yang juga melegenda di Lama Tuha/Muda, Keuchik Diwan (Almarhum). Mungkin puluhan, bisa jadi ratusan program pemberdayaan yang ia tawarkan kepada pemerintah daerah kala itu namun belum juga menampakkan hasil yang lebih baik hingga ia berhenti dari kepala desa dalam keadaan masih harus menggunakan rakit berbayar  yang terbuat dari kayu, tak sesemiris jembatan Sikundo Meulaboh memang, tetapi kehidupan dan budayanya diduga masih banyak kesamaan.
Tahun 2004 Tsunami melanda, lalu datanglah bala bantuan asing, tanpa terkecuali Desa Lama Tuha terkena dampak kecil dari dahsyatnya tsunami di Aceh, ada beberapa asumsi di masyarakat sehingga Lama Tuha, Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan terdampak kecil, salah satunya adalah karena diredam Tanjung Ujoeng Raja. Tsunami merusak tempat tinggal penduduk Lama Tuha yang memang tidak berdiri kokoh, diawali bantuan rumah oleh kebaikan lembaga swadaya masyarakat dari Jerman, dan diikuti dengan bala-bala bantuan lainnya. Secara ekonomi dan budaya bala bantuan tersebut belum mampu merubah banyak wajah Lama Tuha, hingga hadirnya Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias mencanangkan pembangunan jembatan pengganti rakit kayu dan pembangunan kanal raksasa untuk meredam keganasan Krueng Babahrot, sehingga desa lama tuha mudah diakses dan  jalannya terbebas dari siklus banjir tahunan Krueng Babahrot.
Hasil Pilkada 2007 adalah titik balik kegelisahan para pendahulu desa, mulai tahun tersebut dicanangkan perkebunan rakyat oleh pemerintah daerah, dan sebagaian besar lahan yang dijadikan perkebunan sawit rakyat tersebut adalah milik Lama Tuha/Muda, negeri yang sedari dulu kala telah jaya dengan menjadi cikal bakal Kabupaten Aceh Barat Daya. Jadilah desa ini diinvasi tanaman sawit, mulai dari belakang rumah penduduk, sampai sejauh memandang ke depan halaman yang ada hanyalah kelapa sawit, pembicaraan privat dan publik selalu dihiasi oleh pembicaraan kelapa sawit, harga sawit yang melonjak serta merta merubah wajah desa yang dulu terkenal kalem menjadi periang tak menentu, rumah beton mulai menghiasi seperempat wajah desa, kehidupan di Lama Tuha/Muda pun berderap beriringan dengan kehidupan didesa lain, penuh gairah, warganya sejahtera memiliki mobil pribadi, dumtruck yang dimasa sebelum tahun 2007 biasanya hanyalah milik pendatang yang berkunjung ke Lama Tuha/Muda. Tetapi menurut salah seorang pensiunan  tenaga penyuluh pertanian Ir. Rizal, keberadaan lahan sawit bukan hanya menginvasi lahan budidaya tetapi juga menginvasi kehidupan sosial masyarakat, para petani muda nan potensial terjebak pada kehidupan pola buruh, pagi bekerja sore mendapat upah, menurut sang pensiunan tersebut bekerja dengan cara demikian dapat mematikan insting wirausaha anak anak muda. Sebaliknya, bertani tanaman pangan dan holtikultura adalah salah cara menumbuhkembangkan insting wirausaha lewat kesabaran menunggu masa panen, memprediksi harga jual komoditas, mencari solusi ketika persoalan hama dan penyakit menyerang, serta berusaha untuk menjual dengan harga terbaik apalagi jika dibarengi dengan kemampuan hibridasisasi tanaman.
Sejak sebenarnya awal telah disadari bahwa pembangunan di Lama Tuha/Muda lebih dititik beratkan pada pembangunan fisik, ekonomi dan abai terhadap pembangunan nilai-nilai lain, misalnya dalam hal kebangunan kebudayaan dan ekologi. Padahal dua sisi terakhir juga merupakan kebutuhan pokok manusia. Tanah Gambut yang unik di Lama Tuha/Muda tidak dipertahankan sejengkalpun oleh invansi tanaman sawit, harusnya gambut dengan keunikannya menjadi sumber keunggulan dalam pembelajaran, riset dan wisata. Tanah gambut yang terbentuk melalui proses pelapukan yang melambat didalam air menyimpan banyak misteri untuk dipelajari, apalagi gambut terlanjur dicap sebagai tanah yang tidak produktif karena mempunyai tingkat keasaman yang tinggi. Dalam sebuah penelitian di Universitas Sumatera Utara dengan berbagai kombinasi antara pembuatan drainase, pola pemupukan dan pola pembukaan lahan, bisa menjadikan gambut musnah. Demikian juga dengan tata susunan pemukimannya pun tidak diatur laiknya desa yang ramah bencana, pemukiman dihadap-hadapkan dengan muka laut yang suatu waktu berpotensi terjadi tsunami kembali. Tak ada ekosistem transisi kehidupan laut dan darat di Lama Tuha, padahal ekosistem itu dibutuhkan alam untuk memberi nilai tambah pada kehidupan darat, misalnya dengan adanya ekosistem bakau maka intrusi air laut ke darat dapat di halau oleh ekosistem bakau. Hutan Bakau yang dulunya ratusan hektar di Lama Tuha/Muda telah berubah, entah menjadi apa? Kehidupan Lama Tuha/Muda era dibawah tahun 98 hilang perlahan bagai tidak disadari, padahal pada waktu itu Lama Tuha/Muda terkenal dengan kepiting bakaunya, sedikit lobster dan sangat melimpah telur penyu yang hamper bagai tiada habisnya. Kecuali kepiting dan lobster, penyu sudah bisa dikatakan punah tak berbekas saat ini.
Disisi lain kita seperti lupa membangun sisi budaya masyarakatnya, generasi mereka sebelumnya adalah para pejuang tangguh dalam peperangan. Situs budaya berupa benteng kecil diabaikan begitu saja, meriam perang dan amunisi diperjualbelikan masyarakat seperti tiada harga, masyarakat Lama Tuha sendiri, pemerintah daerahnya dan masyarakat Aceh Barat Daya secara keseluruhan seperti terjebak dalam kehausan akan komoditas dengan tujuan akhir adalah uang. Riset ilmiah tentang kerajaan Kuala Batee pun tak pernah diinisiasi oleh pemerintah daerah. Sejarah kerajaan tersebut dibiarkan menjadi pembicaraan rendahan dan tafsir suka-suka oleh si pencerita atau si penulis. Ironi memang padahal desa ini sangat berpotensi untuk menjadi semacam desa percontohan, semisal desa ekologis, desa sejarah atau apalah namanya, sebab desa ini dimulai pembangunannya ketika Aceh melimpah akan bala bantuan.
Menurut cerita yang masih tersisa dalam masyarakat Lama Muda, desa ini merupakan desa yang dibentuk belakangan, sebelumnya para leluhur mendiami desa Lama Tuha sebagai pusat kerajaan Kuala Batee (Quallah Batoo), berhubung karena satu dan lain hal pemukiman dipindah lebih dekat dengan kota Blangpidie saat ini dengan nama Lama Muda, ada beberapa dugaan kepindahan tersebut diantaranya karena wabah penyakit yang tidak diketahui. Yang kedua adalah karena pusat kerajaan porak poranda akibat perang yang dilatarbelakangi oleh provokasi dagang Lada antara Amerika Serikat dengan kerajaan Kuala Batu. Kehebatan perang dan seorang yang bernama SHEW BUNTAR tersebut hanya membeku dalam tulisan yang dibuat dalam Bahasa Inggris, yang saat ini terpampang didepan sekolah dasar Lama Muda. Banyak spekulasi tentang Shew Buntar, ada yang mengatakan ia adalah utusan Kerajaan Ottoman Turki dalam perang tersebut, adapula Putra Mahkota yang memimpin peperangan tersebut. Dan penyebutan secara bergantian untuk teritorial yang sama antara Lama Tuha atau Lama Muda pun tak jadi soal dan dipersoalkan. Begitulah Lama Muda, penuh kontradiksi.
 .

Komentar

Postingan populer dari blog ini