"[PILKADA]
DKI MEMANG BEDA"
Oleh: Muhammad Taufiq Muhdi
Judul di atas hanya mengikuti ikon sebuah
stasiun TV swasta, tanpa menyandingkan pilkada DKI dengan pilkada Aceh, "Pilkada
DKI memang beda". Pilkada DKI kali ini terasa menghentak ke seluruh nusantara,
nampaknya baru dalam pilkada 2017 ini DKI Jakarta benar-benar merasa diri
sebagai ibukota RI sejak merdeka sebab dalam dua minggu ini benar-benar diamati
gerak geriknya oleh seluruh warga yang mendiami bumi nusantara, tak peduli
latar belakang pekerjaan dan pendidikan mulai dari buruh sampai dengan direktur
perusahaan berkelas, mulai dari yang tidak sekolah sampai dengan seseorang
dengan pendidikan tertinggi, bahkan mulai dari anak-anak balita sampai orang
tua semua memelototi DKI tanpa kedip, yang disertai doa, kaul-kaul, taruhan
bahkan mistik-mistikan tentu agar kandidat yang dijagokan memenangi
Pilkada DKI tahun 2017. Politik memang terkadang mengoyak logika, harusnya
politik sebagai ilmu dan logika beriringan mengisi perilaku subjeknya. Bagaimana
mungkin kita di Papua atau Aceh berpartisipasi dalam pilkada DKI jika tidak
terdaftar di sebagai warga DKI, namun kenyataan semua penduduk indonesia
tergerus energinya untuk menyimak, mengamati dan menantikan panggung pilkada
DKI.
Pilkada DKI 2017 memang tidak terlepas
dari beberapa kondisi sebelumnya, seperti aksi 212, 411, termasuk wisata
Al-Maidah, dan beberapa pengamatpun menuduh isu agama sebagai penentu
kemenangan Anies Baswedan dalam pilkada DKI 2017. Dalam masa-masa kampanye di salah
satu tayangan wawancara tv timses Ahok juga menyebutkan bahwa kekalahan
sebelumnya Ahok sebagai peserta pilgub di luar Jakarta akibat tabuhan isu
SARA (suku, agama dan antar golongan) oleh lawan politik. Tidak dapat
dipungkiri memang bahwa isu SARA (terutama agama) turut dimainkan dalam pilkada
DKI 2017, tetapi menganggap bahwa isu agama satu-satunya penentu kemenangan
Anies adalah sesuatu yang perlu diperdebatkan. soalnya kita tidak pernah
membahas detail enam yang lainnya sebagai gubenur yang bukan beragama islam,
katakanlah dua saja misalnya gubenur Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah
(Cornelis dan Teras Narang) mengapa di dua provinsi tersebut tidak ada yang
mengatakan bahwa umat islam sangat toleran. Jika saja umat Islam tidak
"toleran" dan permainan isu "agama" menjadi penentu
kemenangan Anies maka seharusnya di dua provinsi tadi hasil pilkadanya juga
berbanding lurus dengan hasil pilkada DKI 2017.
SARA terkadang lebih dipertajam oleh
keberadaan media massa/sosial sebagai pengisi ruang dalam perubahan politik
yang berlangsung sangat cepat, facebook dipenuhi dengan berbagai status
mengerenyitkan kening atau membuat diri kita tersenyum lebar, twitter juga
menghadirkan ciutan yang kebenarannya terkadang sahih, tetapi juga banyak yang
mengandung kepalsuan. Tetapi yang pasti media sosial telah menjadi salah satu
variabel penting dalam setiap pelaksanaan hajat politik di Indonesia,
kepercayaan masyarakat kepada semua berita yang hadir melalui media sosial menunjukkan
bahwa penggunaan isinya jauh melampaui kecerdasan orang yang menggunakannya.
Ini juga menjadi bukti bahwa terdapat ketidakserasian antara melek teknologi
dengan tingkat pendidikan dan status sosial.
Dukungan paling benderang adalah dukungan
dari media massa tv, semua masyarakat mengetahui bahwa ada salah satu dan
beberapa tv swasta yang kepemilikannya dimiliki ketua umum partai. Peran
lembaga penyiaran terkesan lebih massif dan terbuka mempromosikan salah satu
kandidat dengan sedikit menyerang kandidat lain, serangan tersebut tidak
terlepas dari isu-isu SARA.
Toleransi di Indonesia/nusantara memang
mengalami beberapa perubahan tampilan, perubahan tampilan yang dimaksud sangat
diwarnai oleh kondisi sosial, ekonomi dan politik, serta perubahan sosial
masyarakat global. Diawal perjuangan melawan penjajah Belanda hampir tidak ada
konflik sosial berbau SARA, jikapun ada letupan konflik sosial lebih disebabkan
oleh keinginan Belanda untuk memperkuat posisi mereka di nusantara, pada masa
penjajahan Belanda kesadaran kolektif warga nusantara mampu dikerucutkan dengan
menjadikan Belanda sebagai musuh bersama warga nusantara seiring usaha-usaha
membangun nasionalisme dan memperjuangkan kemerdekaan. Berikutnya dalam periode
penjajahan Jepang janji segera diberikan kemerdekaan dan slogan pelindung Asia
mampu menyerap energi rakyat untuk bekerja mempersiapkan kemerdekaan hakiki Indonesia.
Pasca proklamasi keinginan Belanda menguasai Indonesia kembali menjadikan
konflik dalam masyarakat meningkat tajam, konflik SARA sengaja dimainkan
Belanda untuk membuyarkan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang sedang
diperjuangkan untuk diakui dunia. Kemudian pada masa awal-awal kemerdekaan
politisi dan pejuang kemerdekaan mampu bermufakat menyetujui perubahan piagam
Jakarta dengan menjadikan Indonesia sebagai rumah bagi berkumpulnya SARA.
Beberapa pakar berpendapat inilah hadiah toleransi terbesar bagi tegaknya
Indonesia, tetapi kita sering tidak membicarakan hal ini karena mungkin agak
susah kita cari keuntungan (politik/ekonomi) dalam konteks kekinian. Diawal
kemerdekaan politik adu domba penjajah Belanda yang ingin menguasai kembali nusantara
dihembuskan kembali di Nusantara. Masa konsolidasi demokrasi dalam pemerintahan
Orde lama dibawah kepemimpinan Soekarno konflik SARA relatif tidak ada, semua
kelompok diberi kemudahan mengakses kekuasaan dengan mendirikan partai politik,
sehingga parpol dengan nuansa agama dan aliran tumbuh sangat banyak diawal-awal
tahun 50-an. Aksessibilitas kekuasaan yang terbuka pada masa orde lama dapat
menjadi alat peredam efektif munculnya gejolak-gejolak berbau SARA secara
horizontal, namun nuansa gejolak SARA lebih bersifat vertikal yang terkelola
dengan baik karena para politisi sangat dewasa dalam berolitik. Dimasa Orde
Baru menurut Sofian Munawar Asgart (2003) dengan mengutip Nazarudin Sjamsudin,
Orde Baru diawal-awal periodenya berusaha mengimbangi kekuatan mayoritas dengan
lebih berpihak kepada minoritas, sehingga mayoritas memendam rasa dendam kepada
minoritas, ketika terjadi perubahan haluan politik orde baru pada awal tahun
90-an maka yang terjadi juga sebaliknya, minoritas dedam terhadap mayoritas.
Dalam pilkada DKI 2017 peran media massa
terutama tv yang berusaha untuk menyukseskan salah satu kandidat menjadikan isu
SARA berhembus sangat kencang, di tambah lagi dengan upaya-upaya timses
membangun persepsi khalayak seolah kandidat tersebut merasa ditindas dengan
permainan isu SARA membuat persoalan SARA
dalam pilkada DKI mengalir dengan arah yang sangat sulit ditebak, artinya
isu SARA sebenarnya tidak hanya digunakan mayoritas untuk menyerang minoritas,
tetapi juga digunakan minoritas untuk mengesankan diri mereka ditindas oleh
mayoritas, sebab dalam beberapa hajat politik pilkada dan pemilu sebelumnya
peran masyarakat/pemilih seperti menonton sebuah sinetron (sinema elektronik),
masyarakat/penonton akan selalu berpihak kepada aktor dan aktris yang ditindas
dan dikucilkan meski itu hanya secuil sandwara. Media Tv juga mengesankan
seolah-olah salah satu kandidat adalah representasi terbaik dari agama dan
etnis minoritas tertentu, dalam keadaan seperti ini terbangunlah
persepsi-persepsi yang salah tentang keberagaman sehingga masing-masing kita
bersikap resisten terhadap nilai-nilai kepercayaan yang telah berada dalam alam
bawah sadar.
Y.B. Mangunwijaya |
Pada hakikatnya isu agama dalam pilkada DKI
2017 bukanlah faktor penentu juga bahwa Ahok bukanlah representasi terbaik dari
agama minoritas atau etnis Tiong Hoa, Ahok adalah Ahok, dengan beberapa
perilaku yang sebenarnya sangat tidak disenangi oleh orang banyak (hal ini
diakui sendiri setelah dinyatakan kalah dalam pilkada) dan bukan hanya oleh
umat mayoritas dan asli Indonesia, tetapi dengan alasan nilai kebaikan dan
kesantunan Ajok juga tidak disenangi oleh sebagian kecil minoritas. Jika saja
Ahok menampilkan diri sebagai Y.B. Mangunwijaya yang sangat tersentuh dengan
penderitaan rakyat kecil, atau sebagai Soe Hok Gie yang sangat nasionalis, dan
masih banyak tokoh-tokoh minoritas lainnya yang perilakunya melampaui semua
nilai-nilai agama di rumah SARA ini, Indonesia. Mungkin saja dalam pilkada DKI
2017 Ahok menang (ini hanya perandaian saja).Wallahualam.][
Komentar