Cakologi
Kalau anda mencari di google tentang pengertian cakologi maka akan muncul penayangan tentang ekologi, sebab kata terdekat cakologi dalam mesin google adalah ekologi. Di Aceh belahan Barat Selatan "cako" lebih tepatnya "ek cako" adalah kotoran gigi yang tidak pernah disikat (tetapi secara spesifik ia bukanlah sisa-sisa kopi atau tembakau), "ek cako" memang sebagai lapisan yang muncul akibat kurang menggososk gigi, dan menggosok gigi pada tahun70-an kebawah biasanya di pedesaan dengan menggunakan arang sisa pembakaran kayu di dapur yang kemudian dihaluskan, arang ternyata juga menjadi pembunuh kuman yang efektif, tetapi mungkin tidak seefektif dan sepraktis cairan moutwash yang kita jumpai saat ini.
Belakangan, setelah hampir semua produk kosmetik dan kesehatan menyerang Aceh (kira-kira dasawarsa 90-an) "ek cako" sudah semakin jarang terlihat karena dengan mudah semua kita mendapati sikat gigi dengan pastanya. Hilang dalam dunia nyata, bukan berarti kata cako hilang dari kebahasaan kita, ia kemudian bertransformasi menjadi wujud baru menjadi lebih kurang persamaan kata "tipu", entah bagaimana prosesnya sehingga "cako" menjadi sinonim "tipu", tetapi lebih kurang jika kita tarik beberapa benang merah cako adalah sesuatu yang tidak diinginkan, selalu diperlihatkan ketika berbicara, warnanya menghilangkan keaslian warna asli gigi, keberadaanya secara hakiki sangat dilarang oleh dokter gigi. Persamaan makna inilah mungkin menjadi alasan diubahnya kata cako menjadi "tipu". "Tipu" sebenarnya sudah diterjemahkan menjadi "tipee" dalam bahasa Aceh, tetapi tastenya sangat melayu, jadi masih kurang sedap, tetapi kalau "cako" memang sedikit khas Barat Selatan, sedangkan sinonim kata "taki" yang juga bermakna "tipu" agak khas Utara Timur dan amat sangat jarang digunakan di Barat Selatan. Sangat patut dicurigai kata "cako" di pengaruhi bahasa "aneuk jamee (padang) " yang kami di Barat Selatan sangat fasih.
Akhir-akhir ini tidak tanggung-tanggung, "cako" dalam keseharian disematkan dengan bahasa agung dunia ilmu pengetahuan yaitu bahasa latin, penyematan "logi" yang berasal dari kata "logos" mempunyai arti "ilmu" sehingga jadilah ilmu yang mempelajari tentang tipu menipu disebut dengan "Cakologi", tentu tidak akan ada guru yang bertanya kepada siswanya, JELASKAN PENGERTIAN CAKOLOGI? meski tersemat disitu bahasa yang agung. Tipu atau cako kita maknail lebih kurang tidak menepati janji atau tidak sesuai antara perbuatan dengan perkataan.
Lalu berlarut-larutlah perang antara Teuku Umar dan Kaphe Belanda, sampai berpuluh-puluh tahun dan berganti-ganti generasi Aceh belum juga ditaklukkan, Belanda juga belum mampu diusir bersih dari bumi Aceh sehingga memberi ide kepada Teuku Umar untuk melancarkan strategi perang seolah-olah menyerah dan bekerjasama dengan Belanda, tetapi kemudian berbalik menyerang Belanda, kejadian ini dilakukan berulang-ulang oleh Teuku Umar sehingga Belanda dalam diplomasi terakhir mulai mencurigai sebagai taktik perang lalu menyebutnya sebagai taktik "Tipu Aceh" melekatlah kita dengan tipu-menipu dalam bernegosasi akibat sematan oleh gubenur jendral. Dalam bahasa yang lain kita sebut orang Aceh sangat paham Ilmu Cakologi.
Panglima Tibang mungkin adalah salah satu dinamika lain dalam hal praktik ilmu cakologi tempo dulu, dengan iming-iming kesejahteraan dan gulden ia rela membelot kepada Belanda dan membuang kesempatan menjadi kepercayaan sebagai duta kerajaan Aceh, hasrat cakologi sangat mungkin muncul ketika ada nafsu dan keinginan tertentu harus diutamakan, bukan hanya sebagai jalan untuk survive
Snouck Hugronje |
Dasar sikap kita yang memberi ruang kepada Cakologi akhirnya kita juga dicako oleh Belanda, Snouck Hugronje yang bernama Dr. Cristiaan Snouck Hugronje berhasil menipu kita dengan seolah menjadi orang yang sangat alim dalam ilmu agama, konon masyarakat kita sempat memberi gelar kepada si Belanda dengan gelar Tgk. Puteh padahal jelas-jelas ia non muslim dan salah satu pekerjaannya adalah mengadu domba masyarakat, etnis, kelompok, raja dengan rakyat di Aceh sebagai bagian strategi memenangkan perang Aceh, Dan akhirnya Gayo dan Alas dikuasai Belanda dalam sebuah serangan umum yang salah satu penyebabnya adalah akibat pertahanan "persaudaraan"rakyat Aceh telah diruntuhkan oleh sang Snouck dengan mengadu domba. Snouck tidak ahli tetapi mungkin dia adalah otodidak yang sangat berbakat yang mempelajari Cako Teuku Umara, konon dalam misinya ke Aceh secara khusus ia rutin mengunjungi Aceh Barat/Blangpidie lewat Aceh Tengah.
Ketika ikrar damai RI-GAM sudah selesai, dan pemusnahan senjata dilakukan dibeberapa kabupaten, sangat banyak yang mengatakan bahwa GAM sudah mencako RI sebab perkiraan jumlah senjata yang dimusnahkan sangat sedikit dengan jumlah yang diperkirakan. Di satu sisi ini memperlihatkan posisi GAM lebih kuat dibandingkan RI. Bahkan sangat banyak pengamat dan ahli tata negara yang mengatakan bahwa secara esensi Aceh adalah negara Federal. Belakangan tidak jelas siapa yang mencako siapa?
Tulisan tidak terlepas dengan konteks pilkada DKI tahun 2017 putaran kedua, sangat mungkin jika saja salah satu kandidat di DKI maju dalam pilkada Aceh tidak tertutup kemungkinan untuk menang di Aceh jika saja kandidat tersebut memahami ilmu cakologi, cako dapat melalui janji, kata-kata manis yang menghambarkan gula, atau bisa juga lewat penampilan, gantungan kain dibahu (selempang) atau di Aceh dikenal dengan Ija Reudah, pakai peci, seolah pemaaf dan seolah-olah suci. padahal secara akal sehat ada beberapa hal prinsip dalam masyarakat kita yang secara hakiki bertentangan, tetapi itu tadi masyarakat kita sangat permissif terhadap cakologi sehingga segala kemungkinan mempunyai peluang yang sama.
Kami di Aceh barat Selatan sangat akrab dengan kata cakologi, tetapi itu tidak bermakna kami adalah ahli tipu. Konon, Daerah Istimewa, Otonomi Khusus, UUPA adalah CAKOLOGI. Cakologi atau Cako tidak mungkin terlepas dari ingatan kolektif masyarakat Aceh, kalau tidak menjadi Ahli Cako maka masyarakat kita adalah korban Cako. Wallahualam.
Komentar