SAWAH SEMAKIN BERKURANG

Oleh: Muhammad Taufiq Muhdi*


Lahan sawah terus saja berubah, ada yang menjadi tempat pemukiman dan sebagian lain berubah menjadi lahan non-pangan/sayuran diseluruh belahan bumi Aceh, tanpa disadari bahwa menghilang dan berubahnya sawah menjadi lahan bangunan dan lahan non tanaman pangan adalah salah satu ancaman serius dalam mempertahankan kedaulatan pangan karbohidrat kita.

Data perubahan lahan di Aceh menunjukkan bahwa dalam periode 2009-2012 terjadi penyusutan lahan sawah seluas 60.000 Ha lebih, sementara penambahan luas dalam tahun 2013 hanya sekitar 3500 Ha, kondisi ini menunjukkan bahwa sama sekali belum berimbang antara luas penyusutan dengan luas penambahan, jika saja kita asumsikan jumlah penambahan setiap tahuan secara konsisten adalaah 3500 ha maka dalam sepuluh tahun pun belum mampu mengimbangi penyusutan luas lahan dalam periode 2009-2012, paling tidak kita membutuhkan waktu 20 tahun untuk mengejar penyusutan tahun 2009-2012 dengan asumsi bahwa penyusutan setiap tahunnya adalah nol.

Secara empirik saja sebenarnya sangat terasa terjadi perubahan (konversi) lahan sawah menjadi lahan untuk peruntukan non-tanaman pangan hal ini bisa kita amati dilingkungan sekitar kita, dalam tiga atau empat bulan sekali terlihat pada lahan sawah yang empat bulan lalu terlihat sangat subur tanaman padi, maka pada bulan ini sudah ada pondasi bangunan tempat hunian. Atau mulai ditanam tanaman perkebunan/keras.

Kegiatan yang paling banyak konversi lahan sawah adalah untuk pemukiman, di tempat kita atau bahkan diseluruh belahan daratan Indonesia tidak ada larangan sawah dirubah menjadi tempat pemukiman atau untuk penggunaan lain. Sawah dan terutama padi sebagai tanaman utama sawah dalam persepsi masa lalu masyarakat Aceh adalah sesuatu yang sangat sakral dan dipenuhi pemahaman mistik yang lebih kurang sama dengan pemahaman orang Jawa terhadap Dewi Sri (Dewi Padi) sebagai seorang ratu, yang perlakuannya sangat diperlukan kehati-hatian dan sentuhan kasih sayang, misalnya saja bisa kita lihat dalam adat kanduri troen u blang (baca doa sebelum mulai mengolah tanah), hoi seumangat padee (biasanya lantunan syair harapan panen besar saat padi memasuki masa primordia/inisiasi bunga), tueng woe (memanggil pulang menjelang panen) tiga hal tersebut terus saja mengalami perubahan fungsi kesakralan dan kemistikannya seiring adopsi tekhnologi dan perubahan nilai ekonomi padi dan sawah  (jika tidak kita sebut hilang). Beras bagi masyarakat kita saat ini terasa begitu mudah didapat karena ada Bulog yang selalu berusaha mengatur kestabilan harga beras, Bulog pun begitu mudah mengimpor beras karena ada Vietnam surplus beras dan harganya lebih murah dibandingkan dengan beras kita. Kita tidak pernah berpikir jika saja luas sawah dan kesuburan tanah di Vietnam akan mengalami titik balik. Kita juga tidak pernah bisa tahu apakah kualitas pangan produk Vietnam baik untuk kita konsumsi, sebab budidaya tanaman tidak terlepas dari penggunaan bahan agrokimia. Bisa saja pada saat itu akan terjadi huru hara pangan, tetapi kita juga yakin bahwa pemerintah mempunyai prediksi tentang hal itu.

Akankah terjadi perubahan pola konsumsi kita? Biasa jadi, penduduk kita akan akrab dengan produk gandum yang sampai saat ini masih dengan suka ria kita impor, mungkin sudah takdir nian bahwa mengkonsumsi gandum adalah karakter masyarakat/negara maju. Tetapi sejujurnya tidak semudah itu mengubah pola konsumsi, apalagi bahan konsumsi tersebut seratus persen impor dan sangat minim lahan yang cocok di negara kita untuk dibudidayakan.

Dalam perspektif saat ini sawah dan padi telah berubah menjadi barang ekonomi, nilainya selalu dilihat sejauh mana sawah dan padi mampu menghasilkan uang dan seberapa uang tersebut mampu menghasilkan uang lebih banyak. Sawah dan bertanam padi telah kehilangan sentuhan budaya, dan berubah nilainya dalam alam bawah sadar masyarakat kita, padahal dalam ilmu ekonomi atau politik perspektif dari alam bawah sadar tentang sesuatu adalah sandaran nilai bagi barang tersebut. Harga komoditas perkebunan saat ini sungguhlah melebihi padi jika diuangkan, sehingga kita begitu mudah merubah lahan sawah menjadi kebun coklat misalnya, padahal dalam sisi budaya (konsumsi) kita tidak (sangat rendah) dalam mengkonsumsi produk perkebunan tersebut, berbeda misalnya dengan budaya salah satu masyarakat di eropa yang konsumsi coklat per kilogram per orang sudah sangat tinggi jika dibandingkan dengan Indonesia.



Sawah memiliki derajat tertinggi dalam beberapa kasta lahan, sebab lahan sawah adalah lahan yang bisa dikeringkan dan dibasahkan dalam sesaat dan ini tidak bisa dilakukan dalam kasta lahan lain. Lahan lainnya kita mengenal dengan lahan rawa/gambut atau lahan dengan topografi bergelombang, ini biasanya disebut dengan lahan marjinal. Sangat ideal jika kita berpikir lahan sawah harus dipertahankan keberadaaannya disebabkan derajat dan nilai budayanya.

Kekacaun konversi sawah menjadi penggunaan lain semakin menjadi seiring tidak ada kebijakan pemerintah dalam memproteksi lahan sawah, sawah dengan air irigasi seharusnya jalan masuk bagi pemerintah untuk dilarang konversi, karena keberadaannya sudah melibatkan investasi pemerintah dalam hal penyediaan sarana irigasi, atau  telah beberapa tahun lamanya pemilik sawah menikmati pupuk gratis, dengan adanya larangan dari pemerintah lewat aturan yang mengikat akan tercipta  lahan sawah abadi, suatu saat sangatlah indah dalam kawasan kota kita mempunyai sawah dengan petaninya diantara bangunan tinggi yang menjulang.

Kegiatan konversi juga didorong oleh ketidaktersediaan air irigasi, sangatlah ironi memang Indonesia sebagai negara tropis kekurangan air, ini mengindikasikan juga bahwa pemerintah gagal memproteksi sumber air dalam suatu daerah aliran sungai (DAS)-bukan DAS dalam pengertian pinggiran sungai-. Idealnya tata guna lahan kita benar-benar sejak awal mempertimbangkan tipe penggunaan lahan dan penyelamatan sumber-sumber air. terkait hal air ini juga ironi yang sangat menyakitkan, sebab umat muslim haruslah menjadikan entitas air sebagai sesuatu yang harus dijaga kualitas dan kuantitasnya, sebab tidak ada agama lain didunia yang mengharuskan bersuci dengan air ketika akan melakukan ibadah.

Keikutsertaan pemerintah dalam mengurangi konversi sawah tidak bisa dihindari sebab hanya pemerintah yang mempunyai kekuatan memaksa dan mempunyai nilai tawar dalam melakukan negosiasi dengan pemilik lahan. Pada pemerintahan Aceh periode 2012-2017 pernah sangat kita harapkan akan adanya aturan yang bisa menghambat konversi lahan sawah, tetapi sampai hampir berakhirnya periode tersebut belum muncul satu qanun pun  tentang proteksi lahan sawah. Seiring dengan adanya perubahan tentang pungutan pajak bumi dan bangunan  (PBB) yang kini dikelola sepenuhnya oleh pemerintah kabupaten maka nampaknya harapan tersebut harus kita sematkan pada pemerintah kabupaten misalnya dengan menaikkan pajak sangat tinggi jika membuat bangunan pada lahan sawah yang sudah dilinenasi sebagai sawah abadi. Konon lagi UUPA memungkinkan penataan agraria dilakukan oleh Pemerintah Aceh. Usaha yang padu pemerintah daerah dan provinsi memberikan harapan besar akan tetap eksisnya sawah dimasa yang akan datang. wallahualam.

* Guru Agribisnis Tanaman Pangan dan Holtikultura SMKN 5 Aceh Barat Daya 


Komentar

Postingan populer dari blog ini