"MANTE"
Salah satu pengalaman terbaru saya adalah kembali kepada ingatan masa kecil ketika saudara yang lebih tua mengatakan kepada saya ketika saya tercengang melihat hal-hal yang baru "bek bante that" artinya lebih kurang jangan terlalu lama tertegun.
Ternyata kata "bante" merujuk kepada salah satu kelompok kami orang Aceh yang berada jauh didalam hutan kebanggaan kami. "Bante" dalam masa kecil saya wujudnya sama sekali tidak saya pahami, tetapi lebih didekatkan pada stigma ketakjuban melihat hal-hal baru, hal baru tersebut bisa saja berupa perkembangan tekhnologi, aksi seseorang atau kecantikan seseorang. sudah menjadi kebiasaan Aceh di Barat dan Selatan "ketertinggalan" diidentikkan dengan kelompok kami yang terdekat, bukan untuk mendiskreditkan atau rasis tetapi hanya ingin cepat dipahami saja,
Ternyata "bante" mempunyai beberapa persamaan, dalam sebuha lagu di sebut "gante" atau yang terakhir saya ketahui "mante". Diawal tahun 98 an ketika reformasi sedang bergulir dalam sebuah diskusi kecil-kecilan Prof. Dr. Hakim Nya' Pha pernah mengisahkan bahwa "pada dasarnya orang asli Aceh mempunyai postur tubuh yang kecil, inisiatif beberapa raja Aceh melakukan kontak dengan dunia luar seperti Turki, Melayu dan kerajaan-kerajaan lain sekaligus jalan untuk memperbaiki keturunan generasi berikutnya" sehingga berwujudlah postur orang Aceh yang beragam seperti yang kita kenal saat ini.
Lalu bagaimanakah dengan temuan saudara kita Mante yang beredar cukup meluas di media sosial? Benarkah mereka masih ada? Wallahualam. Jika memang masih ada, maka sangat kita sayangkan sebab ternyata ada saudara kita yang terpinggirkan dalam proses pembangunan yang sudah berlangsung sangat lama, ini juga membuktikan keegoisan kita dalam meraih predikat masyarakat modern. Tentu saja banyak pertanyaan yang harus kita jawab sendiri jika saudara kita Mante masih ada. Bagaimanakah mereka bertahan hidup dalam hutan? mereka memakan apa? bagaimana dengan agama mereka? Lalu ada juga usul agar mereka tidak diganggu, dengan membiarkan mereka terasing bukankah semakin menunjukkan keegoisan kita. Kita merasa diri sedang menjadi masyarakat moderen, pada hal ada kesenjangan dalam jalan yang kita pilih.
Mungkin perlu juga sedikit kita belajar bagaimana gubenur Aceh tahun 80an Prof. Dr. Ibrahim Hasan MBA melakukan pendekatan terhadap masyarakat yang juga sedikit terisolir pada jaman tersebut di Nagan Raya yaitu Gunong Kong. Jika kita lihat perkembangan masyarakat Gunong Kong saat ini maka bisa kita sebut mereka sudah sejajar dengan saudara-saudara yang lain di Aceh, baik yang bersifat positif maupun negatif. Saya yakin jika saja kita mau berusaha dan belajar dari gubenur sebelumnya dalam menangani saudara kita Mante maka mereka juga akan sejajar dengan kita di suatu waktu (tentunya jika mereka memang ada). Dan tak ada lagi kalimat "Bek Bante That!!"
Komentar