Reposting
SMK ATAU SMA?
Oleh: M.Taufiq*
Cukup menarik membaca tulisan Sofyan A Gani dalam
harian Serambi Indonesia (kamis 25 Februari) tentang pesimisme sebagian
masyarakat kita dalam menatap dan mendidik anak mereka di SMK. Ini mengingatkan
saya ketika suatu waktu mengadakan seleksi penerimaan siswa baru SMK, dalam
sesi wawacancara seorang teman saya secara iseng bertanya kepada salah seorang
peserta, “Apakah kepanjangan SMK?’ secara spontan dan mungkin juga dengan
setengah serius peserta tes menjawab “SEKOLAH MEMANJAT KELAPA”. Jawaban anak
baru tamat SMP tersebut memang tidak serta merta dapat dijadikan parameter
sesungguhnya terhadap daya tarik masyarakat secara keseluruhan terhadap SMK,
tetapi bagaimanapun juga itu adalah alah satu respon yang suka tidak suka harus
kita anggap sebagai kritik kepada para pihak yang mengelola pendidikan SMK. Namun
demikian ini cukup membuktikan terhadap apa yang disampaikan oleh Dr. sofyan
bahwa ada kesalahan pihak sekolah dalam “memasarkan”SMK dan mencetak lulusan
sebagai tenaga kerja profesonal dan mandiri.
Penulis lebih melihat bah tidak berkembangnya SMK
menuju kondisi yang ideal lebih disebabkan oleh ketidak becusan pemerintah
kabupaten dalam memberikan dukungan terhadap SMK, hal ini bisa dijelaskan
sebagai berikut: pertama, minimnya
dukungan dana, meskipun rasio pertumbuhan SMK yang diharapkan adalah 60:40
namun dukungan dana dari pemerintah kabupaten tidak 60:40, idealnya, ketika
pertumbuhan yang diharapkan 60+40 maka harus dibarengi dukungan dana dengan rasio
60:40, bagaimanapun pemerintah kabupaten kita asyik disibukkan dengan sekolah
unggul dan sekolah-sekolah yang dididirikan oleh negara luar (seperti Korea Selatan) walaupun kontribusi
mereka terhadap daerah tidak nyata. Kedua,
minimnya pemahaman aparatur pemerintah kabupaten tentang SMK kenyataan ini bisa terlihat dari minimnya
program-program pengembangan SMK ynag berasal dari dinas pendidikan kabupaten,
hampir semua aparatur dinas pendidikan kabupaten di Aceh berasal dari guru-guru
non SMK yang telah berpuluh tahun mengajar di SMA/SMP/SD sehingga mindset mereka lebih banyak dipengaruhi
oleh pengalaman membangaun SMA/SMP/SD, padahal dinamika dan tujuan
mpengembangan SMK berbeda dengan apa yang diharapkan dari pengembangan SMA,
sekali lagi, kalau memang pertumbuhan yang diharapkan dengan rasio 60:40 kenapa
mindset aparatur dinas pendidikan tidak disetting menjadi 60:40. Ketiga, hampir semua bupati yang
terpilih sekitar 3 tahun lalu tidak mempunyai pemahaman yang baik tentang
membangun pendidikan, saya yakin diantara mereka ada yang tidak pernah
mendengar tentang rasio 60:40, sementara disisi lain kita tahu bahawa otonomi
yang berlangsung di Indonesia sangat bertumpu pada kabupaten, sehingga
pemahaman seorang bupati yang utuh terhadap pendidikan sangat mempengaruhi
perkembangan SMK dalam satu kabupaten. Tidak berbeda halnya dengan kapasitas
Dewan Perwakilan Kabupaten(DPRK) yang terpilih tahun 2009, hampir semua
anggaota DPRK juga tidak punya pemahaman utuh tentang pendidikan, minimnya
kapasitas DPRK menjadikan pengembangan SMK semakin terseok-seok, padahal dalam
konstitusi kita legeslatif diharapkan dapat menjadi pengimbang eksekutif. Keempat rekruitmen kepala sekolah yang
tidak profesional, hampir semua kepala sekolah SMK di Aceh bahkan di seluruh
daerah diluar jawa diangkat akibat sentimen pribadi yang tidak rasional,
misalnya agama kepala sekolah, asal kepala sekolah bahkan di beberapa kabupaten
salah satu pertimbangan untuk dijadikan kepala sekolah adalah karena ada atau
tidaknya seorang calon kepala sekolah terlibat dalam tim sukses bupati
terpilih. Kondisi tim sukses ini tidak hanya menggejala di Aceh tetapi juga
sangat banyak keluhan dari daerah-daerah lain di luar jawa. Belum lagi para
pengambil kebijakan di negara kita memang belum terbebas dari “semangat”
nepotisme.
Menyikapi fenomena ini, ada beberapa point yang
harus dilakukan segera untuk mengarahkan
pengembangan SMK menuju kondisi yang ideal. Pertama
sebaiknya pengeloalaan SMK diambil alih oleh dinas provinsi, hal ini dilakukan
untuk mengurangi beban berat yang harus dipikul dinas pendidikan kabupaten
dalam mengelola pendidikan, ini sangat berkaitan ketersediaan sumber daya
manusia di dinas pendidikan kabupaten yang sangat minim. Kedua perlu adanya pemberdayaan instansi pengambil kebijakan di
bidang pendidikan, pemberdayaan tidak hanya dilakukan pada instansi pemerintah,
tetapi juga lembaga-lembaga yang terkait dengan pengambilan keputusan dibidang
pendidikan, seperti halnya DPRK atau Majlis Pendidikan Daerah juga perlu dilakukan
pemberdayaan, tentunya pihak universitas dianggap lebih bisa melakukan
tugas-tugas seperti ini. Ketiga,
membuat standarisasi kompetensi kepala sekolah SMK (semacam fit and proper test --uji kepatutan dan
kelayakan--) dengan langkah ini diharapkan orang yang menduduki jabatan kepala
SMK tidak terlalu lama “terbingung-bingung” untuk memahami arah lembaga
pendidikan yang mereka pimpim, pihak yang paling bisa melakukan fit and proper test adalah universitas,
fit and proper test pasti mampu memunculkan kepala sekolah dengan visi yang
jelas, sebagaimana juga disebutkan Sofyan A Gani. Keempat, perlunya dibuat regulasi oleh pemerintah
provinsi/kabupaten yang secara implisit menegaskan keharusan dunia
industri/dunia usaha terkait, untuk mendukung keberadaan SMK dalam suatu
wilayah tertentu, sehingga posisi sekolah dan lembaga pendidikan sejajar, tidak
seperti kesan selama ini, dunia industri/usaha
acuh tak acuh merespon keberadaan dan keadaan sekolah di sekitar mereka.
Dengan mengambil sikap seperti disebutkan dalam
paragraf diatas, tamatan dan proses belajar di SMK benar-benar berbeda dengan
SMA. Sehingga kepanjangan SMK seperti disebut diawal paragraf tulisan ini hanya
benar-benar menjadi tidak nyata. Sebaliknya jika saja kita tidak dapat bersikap
terhadap perkembangan saat ini, maka 10 atau 20 tahun lagi SMK kita tetap
seperti itu-itu juga. Atau akankah suatu saat nanti kita merubah kembali SMK menjadi SMA. Wallahualam!)(
*Guru SMK Negeri 1 Babahrot-Aceh Barat Daya
Komentar