Reaktualisasi Pemikiran KHD
Bagi
beberapa guru diantara kita mungkin lebih memahami pikiran-pikiran menegenai
pendidikan yang di sampaikan oleh beberapa pemikir Barat dibandingkan dengan
pemikiran-pemikiran yang berasal dari negara
kita sendiri, misalnya kita lebih mengenal Dewey dibadingkan dengan pemikiran
Ki Hajar Dewantara (KHD). Salahkah demikian, tentu jawabannya tidak sebab dalam
beberapa bagian pemikiran mereka berdua berada dalam sebuah irisan yang saling
menguatkan, apalagi jika dikaitkan dengan kepentingan praktis misalnya dalam
beberapa tes guru (katakanlah tes kompetensi guru) bisa saja soal mengenai
pemikiran Dewey lebih menarik dimunculkan oleh si pembuat soal dibandingkan
pertanyaan mengenai pemikiran KHD. Dalam
konteks yang sempit hal ini penulis alami sendiri selama menjalani profesi
guru; keberadaan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara seolah tak perlu
disentuh atau di reaktualisasikan kembali dalam melihat masa depan pendidikan
Indonesia. Tut Wuri Handayani yang tercantum dalam simbol kementerian
pendidikan seolah hanya slogan semata yang miskin makna. Ki Hajar Dewantara
sendiri lebih kita kenal hanya sebagai pendiri taman belajar Taman Siswa, yang
pekerjaan demikian juga banyak dilakukan oleh tokoh–tokoh lokal kita saat ini
tanpa bisa kita menangkap tujuan dan makna pendirian taman siswa itu sendiri
berikut sejarah dan filosofinya. Ki Hajar Dewantara sebagain kita mengenalnya
sebagai menteri pendidikan pertama, jabatan itu mungkin kita tafsirkan sebagai
akibat pergulatannya semata dalam perjuangan kemerdekaan tanpa kita bisa
menangkap bahwa filosofi pendidikan yang ia bawa seharusnya meliputi setiap
insan pendidikan di republik ini.
Pentingnya
Reaktualisasi Pemikiran KHD
Ada beberapa alasan
penting sehingga pemikiran KHD perlu kita refleksi dan aktualisasikan kembali
dalam konteks kekinian, sebab pendidikan kita saat ini dalam perspektif helicopter view terlihat jauh tertinggal dibandingkan dengan
negara sekelasnya di Asia Tenggara (banyak data dan lembaga yang merilis
berseliweran di dunia maya tentang peringkat pendidikan) atau bahkan dengan
dirinya sendiri (pendidikan terdahulu). Bangsa kita seolah telah putus asa
untuk menjadikan pendidikan sebagai pemimpin peradaban bangsa Indonesia,
masalahnya serasa sudah seperti sudah menjadi siklus kelahiran anak setan,
setiap yang lahir pasti menjadi setan dan setiap ada manusia yang baik akan
selalu ada setan yang sejahat orang baik tersebut. Sehingga seiring berjalannya
waktu populasi setan jauh lebih banyak menghiasi persepsi kita tentang
pendidikan.
Jika
kita bagi secara sederhana periodesasi pendidikan kita dapat dikategorikan
dalam tiga periode, yaitu periode orde lama, seiring dengan kepemimpinan
Soekarno sebagai presiden, periode ini adalah awal-awal pendidikan di Indonesia
ditata, saat Indonesia masih berantakan secara ekonomi namun warisan model
pendidikan zaman perjuangan setidaknya mampu menjadikan sektor pendidikan
sebagai sesuatu yang membanggakan, dan hasilnya adalah pada periode kedua yaitu
periode orde baru, dalam periode pendidikan kita berada pada puncak kejayaan
sector pendidikan, semboyan pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan
sektor pendidikan adalah hal utama yang harus diperhatikan dalam membangun
peradaban Indonesia, Indonesia menjadi model pendidikan bangsa melayu, prkatisi
dan teknokrat dilahirkan dengan apik oleh lembaga-lembaga pendidikan kita,
namun demikian di ujung periode yang panjang ini pula sector pendidikan seperti
terlihat goyah, ternyata teknokrat dan prkatisi yang dilahirkan jauh dari
peradaban yang diharapkan terutama dalam hal karakter dan kecintaan terhadap
bangsa (tiga isu penting saat itu adalah tumbuh kembangnya kolusi, korupsi dan
nepostisme di Indonesia), selanjutnya adalah periode ketiga yaitu periode
reformasi, dalam periode ini kembali terjadi dialektika dalam dunia pendidikan
kita bahwa pentingnya membangun karakter dan kecintaan terhadap bangsa dalam
jalan panjang pendidikan kita, namun demikian berbagai usaha dilakukan belum
memperlihatkan hasil yang baik, baik secara statistic maupun secara parameter
dalam ukuran kecil (misalnya semua materi ajar dapat dipastikan diketahui siswa
setelah menempuh pendidikan dalam jangka waktu tertentu).
Pada
keadaan seperti di ataslah perlu kiranya kita mengkaji kembali arah pendidikan
yang pernah dicanangakan oleh Ki Hajar Dewantara, dimana filosofi pendidikannya
bukan hanya diimplimentasikan pada skala lembaga namun bisa juga diaplikasikan
dalam skala kecil di kelas pembelajaran:
Pendidikan
adalah menuntun
Bagi
KHD pendidikan adalah menuntun, dengan demikian potensi diri anak (kesukaan dan
kecakapan) telah ada dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan ia tumbuh
sebelumnya, sehingga guru berada dalam posisi memberi ruang bagi berkembangnya
potensi diri anak tersebut, jikapun ada hal-hal baru yang seharusnya diketahui
oleh anak mestilah menjadikan kesukaan dan kecakapan yang dimilki anak sebagai
jalan masuk ia menguasai hal baru tersebut. Pada tingkat kelembagaan, sekolah
mestilah memberikan pilihan, ruang dan peluang bagi siswa untuk dapat
mengembangkan potensi diri anak tersebut. KHD memberikan perbedaan yang tegas dengan pengajaran,
pengajaran bagi KHD adalah proses memberikan pendidikan memeberi ilmu atau
berfaedah untuk kecakapan hidup anak baik secara lahir maupun batin. Jadi tidak
boleh pengajaran menutupi ruang untuk
mendidik, karena pengajaran adalah bagian dari mendidik. Pemaknaan menuntun
juga mengharuskan para pendidik mestilah mengenali dengan baik potensi-potensi
unik yang dimiliki siswa, jika kita berikan contoh dalam ruang kelas adalah
dengan mengenali dan memahami tipe belajar yang dimiliki oleh siswa, yang
biasanya dikategorikan menjadi: auditori, visual dan kinestetik. Pada praktik
menegenali potensi siswa maka akan sejalan dengan pemikiran KHD yang lain yaitu
“menghamba pada murid” yang secara umum dapat kita terjemahkan sebagai upaya
menjadikan siswa sebagai pusat pembelajaran.
Pendidikan
adalah tempat berseminya kebudayaan
Pendidikan
bagi KHD adalah tempat berseminya
kebudayaan, hal ini pernah berkali-kali menjadi perdebatan yang tidak berisik
di negeri kita yaitu beberapa kali kemenetrian pendidikan dipisah dari
kementrian kebudayaan namun demikian disatukan dengan berkali-kali pula.
Pemahaman lain (reaktualisasi) tentang ini adalah bahwa kebudayaan (peradaban)
dapat menjadi cermin terhadap baiknya sebuah sistem pendidikan, sebaliknya
pendidikan dapat dilakukan secara bersamaan untuk menguatkan kebudayaan itu
sendiri, jadi tegas bagi KHD pendidikan dan kebudayaan adalah dua sisi mata
uang yang mustahil untuk dipisahkan, dalam hal ini KHD memahami betul bahwa
kebudayaan pembentuk bangsa Indonesia sangat beragam sekali dan mustahil untuk
dijadikan dalam satu bentuk, pada saat yang sama kebudayaan ini dapat menjadi
kekuatan bagi bangsa Indonesia sebagai bangsa majemuk yang kuat. Disis lain
kebudayaan ini adalah sisi kebutuhan ruhani tak ternilai bagi manusia dalam
menjalani kehidupannya. Kebudayaan yang ditekan oleh KHD adalah kebudayaan yang
mengedepankan nilai–nilai kemanusiaan, sehingga kebudayaan yang antihumanisme
tidaklah dianggap sebagai kebudayaan. Dalam konteks pengajaran di kelas maka
kebudayaan mestilah menjadi tema penting dalam melaksanakan pendidikan dan
pengajaran, sambil membangun kepercayaan diri peserta didik bahwa pada titik
tertentu kebudayaan yang di bangun akan menjadi bagian dari kebudayaan dunia..
Kodrat
alam dan kodrat zaman
KHD
melihat bahwa pendidikan mestilah dipraktekkan secara dinamis sesuai dengan
zamannya, hal ini menjadikan pelaksanaan pendidikan membolehkan mengadopsi
model apapun dan darimanapun sesuai dengan zaman generasi muda Indonesia
tumbuh, namun demikian peserta didik tidak boleh tercabut kesadarannya dari
sebagai warga negara Indonesia. Pemaknaan dalam konteks kekinian hal ini
berarti bahwa pendidikan bukan hanya bisa memberi ruang bagi tumbuhnya
kembangnya potensi siswa saat ini namun juga harus bisa menjamin siswa tersebut
untuk dapat tumbuh kembang potensinya dimasa yang akan datang, hal ini berarti
kecakapan lahir batin serta ancamannya di masa yang akan datang haruslah
menjadi perhatian para pendidik di dalam kelas dan juga lembaga pendidikan
tentunya.
Kodrat alam
dapat dimaknai pada keharusan peserta didik diajarkan menerima tantangan dan
kemurahan alam untuk dimanfaatkan, artinya pendidikan tidak boleh dilepaskan
dari upaya memanfaatkan alam sebagai sumber belajar dengan berbagai model
belajar, sedangkan tantangan alam mesti dimaknai sebagai upaya melahirkan
inovasi-inovasi baru bagi kepentingan bersama dilingkungannya. Pemaknaan kodrat
alam dapat pula diterjemahkan sebagai upaya mengkontekstualkan ilmu yang
dimiliki siswa supaya terikat dengan alam ia hidup.
Pentingnya
budi pekerti
Yang
menjadikan pemikiran KHD sangat sempurna adalah pada perhatiannya terhadap
pentingnya budi pekerti: jujur, menerima kritik, berbuat baik dan menerima
perbedaan. Hal ini yang diduga telah hilang akhir-akhir ini dalam system
pendidikan kita, penekanan pada pentingnya pendidikan karakter telah menjadi
perhatian penting pemerintah dalam periode reformasi ini. Bagi KHD peran
pendidikan karekter ini tidak hanya dibebankan kepada guru saja, namun faktor
dorongan dan pembiasaan oleh orang tua akan banyak berpengaruh kepada siswa,
sesuatu yang tidak mungkin mengaharapkan persoalan pendidikan budipekerti
(karakter) kepada sekolah saja. Untuk saat ini sudah saatnya lembaga pendidikan
kita merancang sebuah model baru keterlibatan orang tua dalam pendidikan
anak-anak mereka, sebab akhir-akhir ini disadari atau tidak hubungan orang tua
dan sekolah seolah-olah ada gap; baik terkait dengan tafsir undang-undang tentang
hak azazi manusia, maupun terkait tafsiran undang-undang lainnya.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia telah merancang Program Guru Penggerak yang sebagiannya adalah sebagai upaya reaktualisasi pemikiran Ki Hajar Dewantara bagi guru, namun demikian perihal pendidikan bukan hanya soal guru, siswa dan sekolah saja, hal ini terkait dengan pelaksana kebijakan, pembuat kebijakan dan pengawas kebijakan, alangkah idealnya jika ketiga lembaga tersebut mempunyai pemahaman dan pemaknaan yang sama tentang arah pendidikan Indonesia. Wallahualam.
*Guru /Ketua Daerah IGI Aceh Barat Daya
Komentar