Reaktualisasi Pemikiran KHD


Oleh: M. Taufiq*

Bagi beberapa guru diantara kita mungkin lebih memahami pikiran-pikiran menegenai pendidikan yang di sampaikan oleh beberapa pemikir Barat dibandingkan dengan pemikiran-pemikiran  yang berasal dari negara kita sendiri, misalnya kita lebih mengenal Dewey dibadingkan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara (KHD). Salahkah demikian, tentu jawabannya tidak sebab dalam beberapa bagian pemikiran mereka berdua berada dalam sebuah irisan yang saling menguatkan, apalagi jika dikaitkan dengan kepentingan praktis misalnya dalam beberapa tes guru (katakanlah tes kompetensi guru) bisa saja soal mengenai pemikiran Dewey lebih menarik dimunculkan oleh si pembuat soal dibandingkan pertanyaan mengenai pemikiran KHD.  Dalam konteks yang sempit hal ini penulis alami sendiri selama menjalani profesi guru; keberadaan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara seolah tak perlu disentuh atau di reaktualisasikan kembali dalam melihat masa depan pendidikan Indonesia. Tut Wuri Handayani yang tercantum dalam simbol kementerian pendidikan seolah hanya slogan semata yang miskin makna. Ki Hajar Dewantara sendiri lebih kita kenal hanya sebagai pendiri taman belajar Taman Siswa, yang pekerjaan demikian juga banyak dilakukan oleh tokoh–tokoh lokal kita saat ini tanpa bisa kita menangkap tujuan dan makna pendirian taman siswa itu sendiri berikut sejarah dan filosofinya. Ki Hajar Dewantara sebagain kita mengenalnya sebagai menteri pendidikan pertama, jabatan itu mungkin kita tafsirkan sebagai akibat pergulatannya semata dalam perjuangan kemerdekaan tanpa kita bisa menangkap bahwa filosofi pendidikan yang ia bawa seharusnya meliputi setiap insan pendidikan di republik ini.

Pentingnya Reaktualisasi Pemikiran KHD

Ada beberapa alasan penting sehingga pemikiran KHD perlu kita refleksi dan aktualisasikan kembali dalam konteks kekinian, sebab pendidikan kita saat ini dalam perspektif helicopter view  terlihat jauh tertinggal dibandingkan dengan negara sekelasnya di Asia Tenggara (banyak data dan lembaga yang merilis berseliweran di dunia maya tentang peringkat pendidikan) atau bahkan dengan dirinya sendiri (pendidikan terdahulu). Bangsa kita seolah telah putus asa untuk menjadikan pendidikan sebagai pemimpin peradaban bangsa Indonesia, masalahnya serasa sudah seperti sudah menjadi siklus kelahiran anak setan, setiap yang lahir pasti menjadi setan dan setiap ada manusia yang baik akan selalu ada setan yang sejahat orang baik tersebut. Sehingga seiring berjalannya waktu populasi setan jauh lebih banyak menghiasi persepsi kita tentang pendidikan.

Jika kita bagi secara sederhana periodesasi pendidikan kita dapat dikategorikan dalam tiga periode, yaitu periode orde lama, seiring dengan kepemimpinan Soekarno sebagai presiden, periode ini adalah awal-awal pendidikan di Indonesia ditata, saat Indonesia masih berantakan secara ekonomi namun warisan model pendidikan zaman perjuangan setidaknya mampu menjadikan sektor pendidikan sebagai sesuatu yang membanggakan, dan hasilnya adalah pada periode kedua yaitu periode orde baru, dalam periode pendidikan kita berada pada puncak kejayaan sector pendidikan, semboyan pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan sektor pendidikan adalah hal utama yang harus diperhatikan dalam membangun peradaban Indonesia, Indonesia menjadi model pendidikan bangsa melayu, prkatisi dan teknokrat dilahirkan dengan apik oleh lembaga-lembaga pendidikan kita, namun demikian di ujung periode yang panjang ini pula sector pendidikan seperti terlihat goyah, ternyata teknokrat dan prkatisi yang dilahirkan jauh dari peradaban yang diharapkan terutama dalam hal karakter dan kecintaan terhadap bangsa (tiga isu penting saat itu adalah tumbuh kembangnya kolusi, korupsi dan nepostisme di Indonesia), selanjutnya adalah periode ketiga yaitu periode reformasi, dalam periode ini kembali terjadi dialektika dalam dunia pendidikan kita bahwa pentingnya membangun karakter dan kecintaan terhadap bangsa dalam jalan panjang pendidikan kita, namun demikian berbagai usaha dilakukan belum memperlihatkan hasil yang baik, baik secara statistic maupun secara parameter dalam ukuran kecil (misalnya semua materi ajar dapat dipastikan diketahui siswa setelah menempuh pendidikan dalam jangka waktu tertentu).

Pada keadaan seperti di ataslah perlu kiranya kita mengkaji kembali arah pendidikan yang pernah dicanangakan oleh Ki Hajar Dewantara, dimana filosofi pendidikannya bukan hanya diimplimentasikan pada skala lembaga namun bisa juga diaplikasikan dalam skala kecil di kelas pembelajaran:

Pendidikan adalah menuntun  

Bagi KHD pendidikan adalah menuntun, dengan demikian potensi diri anak (kesukaan dan kecakapan) telah ada dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan ia tumbuh sebelumnya, sehingga guru berada dalam posisi memberi ruang bagi berkembangnya potensi diri anak tersebut, jikapun ada hal-hal baru yang seharusnya diketahui oleh anak mestilah menjadikan kesukaan dan kecakapan yang dimilki anak sebagai jalan masuk ia menguasai hal baru tersebut. Pada tingkat kelembagaan, sekolah mestilah memberikan pilihan, ruang dan peluang bagi siswa untuk dapat mengembangkan potensi diri anak tersebut. KHD memberikan  perbedaan yang tegas dengan pengajaran, pengajaran bagi KHD adalah proses memberikan pendidikan memeberi ilmu atau berfaedah untuk kecakapan hidup anak baik secara lahir maupun batin. Jadi tidak  boleh pengajaran menutupi ruang untuk mendidik, karena pengajaran adalah bagian dari mendidik. Pemaknaan menuntun juga mengharuskan para pendidik mestilah mengenali dengan baik potensi-potensi unik yang dimiliki siswa, jika kita berikan contoh dalam ruang kelas adalah dengan mengenali dan memahami tipe belajar yang dimiliki oleh siswa, yang biasanya dikategorikan menjadi: auditori, visual dan kinestetik. Pada praktik menegenali potensi siswa maka akan sejalan dengan pemikiran KHD yang lain yaitu “menghamba pada murid” yang secara umum dapat kita terjemahkan sebagai upaya menjadikan siswa sebagai pusat pembelajaran.

Pendidikan adalah tempat berseminya kebudayaan 

Pendidikan bagi  KHD adalah tempat berseminya kebudayaan, hal ini pernah berkali-kali menjadi perdebatan yang tidak berisik di negeri kita yaitu beberapa kali kemenetrian pendidikan dipisah dari kementrian kebudayaan namun demikian disatukan dengan berkali-kali pula. Pemahaman lain (reaktualisasi) tentang ini adalah bahwa kebudayaan (peradaban) dapat menjadi cermin terhadap baiknya sebuah sistem pendidikan, sebaliknya pendidikan dapat dilakukan secara bersamaan untuk menguatkan kebudayaan itu sendiri, jadi tegas bagi KHD pendidikan dan kebudayaan adalah dua sisi mata uang yang mustahil untuk dipisahkan, dalam hal ini KHD memahami betul bahwa kebudayaan pembentuk bangsa Indonesia sangat beragam sekali dan mustahil untuk dijadikan dalam satu bentuk, pada saat yang sama kebudayaan ini dapat menjadi kekuatan bagi bangsa Indonesia sebagai bangsa majemuk yang kuat. Disis lain kebudayaan ini adalah sisi kebutuhan ruhani tak ternilai bagi manusia dalam menjalani kehidupannya. Kebudayaan yang ditekan oleh KHD adalah kebudayaan yang mengedepankan nilai–nilai kemanusiaan, sehingga kebudayaan yang antihumanisme tidaklah dianggap sebagai kebudayaan. Dalam konteks pengajaran di kelas maka kebudayaan mestilah menjadi tema penting dalam melaksanakan pendidikan dan pengajaran, sambil membangun kepercayaan diri peserta didik bahwa pada titik tertentu kebudayaan yang di bangun akan menjadi bagian dari kebudayaan dunia..

Kodrat alam dan kodrat zaman

KHD melihat bahwa pendidikan mestilah dipraktekkan secara dinamis sesuai dengan zamannya, hal ini menjadikan pelaksanaan pendidikan membolehkan mengadopsi model apapun dan darimanapun sesuai dengan zaman generasi muda Indonesia tumbuh, namun demikian peserta didik tidak boleh tercabut kesadarannya dari sebagai warga negara Indonesia. Pemaknaan dalam konteks kekinian hal ini berarti bahwa pendidikan bukan hanya bisa memberi ruang bagi tumbuhnya kembangnya potensi siswa saat ini namun juga harus bisa menjamin siswa tersebut untuk dapat tumbuh kembang potensinya dimasa yang akan datang, hal ini berarti kecakapan lahir batin serta ancamannya di masa yang akan datang haruslah menjadi perhatian para pendidik di dalam kelas dan juga lembaga pendidikan tentunya.  

Kodrat alam dapat dimaknai pada keharusan peserta didik diajarkan menerima tantangan dan kemurahan alam untuk dimanfaatkan, artinya pendidikan tidak boleh dilepaskan dari upaya memanfaatkan alam sebagai sumber belajar dengan berbagai model belajar, sedangkan tantangan alam mesti dimaknai sebagai upaya melahirkan inovasi-inovasi baru bagi kepentingan bersama dilingkungannya. Pemaknaan kodrat alam dapat pula diterjemahkan sebagai upaya mengkontekstualkan ilmu yang dimiliki siswa supaya terikat dengan alam ia hidup.

Pentingnya budi pekerti

Yang menjadikan pemikiran KHD sangat sempurna adalah pada perhatiannya terhadap pentingnya budi pekerti: jujur, menerima kritik, berbuat baik dan menerima perbedaan. Hal ini yang diduga telah hilang akhir-akhir ini dalam system pendidikan kita, penekanan pada pentingnya pendidikan karakter telah menjadi perhatian penting pemerintah dalam periode reformasi ini. Bagi KHD peran pendidikan karekter ini tidak hanya dibebankan kepada guru saja, namun faktor dorongan dan pembiasaan oleh orang tua akan banyak berpengaruh kepada siswa, sesuatu yang tidak mungkin mengaharapkan persoalan pendidikan budipekerti (karakter) kepada sekolah saja. Untuk saat ini sudah saatnya lembaga pendidikan kita merancang sebuah model baru keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak-anak mereka, sebab akhir-akhir ini disadari atau tidak hubungan orang tua dan sekolah seolah-olah ada gap; baik  terkait dengan tafsir undang-undang tentang hak azazi manusia, maupun terkait tafsiran undang-undang lainnya.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia telah merancang Program Guru Penggerak yang sebagiannya adalah sebagai upaya reaktualisasi pemikiran Ki Hajar Dewantara bagi guru, namun demikian perihal pendidikan bukan hanya soal guru, siswa dan sekolah saja, hal ini terkait dengan pelaksana kebijakan, pembuat kebijakan dan pengawas kebijakan, alangkah idealnya jika ketiga lembaga tersebut mempunyai pemahaman dan pemaknaan yang sama tentang arah pendidikan Indonesia. Wallahualam.

*Guru /Ketua Daerah IGI Aceh Barat Daya


Komentar

Postingan populer dari blog ini