DILEMA PEMUJA DEMOKRASI DAN REVOLUSI
Oleh: Muhammad Taufiq
Kilas Balik
Kebanyakan, demokrasi dan revolusi berjalan beriringan, ketika terjadi revolusi Bolshevik di Rusia misalnya, salah satu semangat yang ingin dihantarkan dalam sanubari masyarakat Rusia saat itu adalah sebuah kehidupan demokrasi yang menempatkan nilai-nilai kemanusiaan di atas segala tatanan kehidupan, hal ini tentunya berbeda jauh dengan dengan tatanan yang dibangun Tsar Rusia saat itu dimana Tsar mempunyai kekuasaan yang tak terbatas dalam dalam segala aspek kehidupan masyarakat Rusia. Lalu, sang revolusioner Rusia Vladimir Lenin pun berada dalam puncak kekuasaan dengan partai yang berideologikan sosial demokrasi ia didampingi Joseph Stalin, masalahanya bukan pada Lenin tetapi pada Stalin sang sahabat setia Lenin. Stalin adalah harapan Lenin untuk melanjutkan Rusia (Soviet) sebagai negara dengan basis sosial-demokrasi hal ini tidaklah berlebihan sebab mereka sudah bersahabat dan berjuang dalam waktu yang lama secara bersama, sehingga jalan dan arah pikiran mereka berdua sudah berada pada titik saling memahami. Jika Lenin mengklaim bahwa ia memahami Marxisme melebihi Karl Marx itu sendiri, maka orang yang berhak mengatakan memahami Leninisme melebihi Lenin adalah hanya Stalin satu orang.
Diawal kekuasannya berjalan dengan baik, tetapi setelah berhasil mengalahkan Jerman dalam perang yang alot, mungkin Stalin telah melihat dirinya sebagai sosok yang melebihi Lenin, pada saat yang sama ia mulai mengidentifikasi ancaman-ancaman bagi kekuasaan yang ia pegang, sepulang dari perang tidak semua perwira dapat nyaman dengan pesta vodka dan kembali dengan posisi terhormat dinegaranya, tetapi diwawancarai oleh petugas yang dibentuk oleh Stalin untuk mendeteksi seberapa besar para perwira ini bisa menjadi pemicu ”revolusi baru” dalam masa kekuasaan Stalin nantinya, dan hasilnya adalah satu perempat balatentara ini harus mendiami karengkeng besi dengan berbagai alasan tentunya, sang pengerak revolusi Stalin mulai dihinggapi ketakutan akan munculnya “revolusi baru” dari perwira medan perang. Sikap Stalin demikian persis seperti yang pernah dikhawatirkan Lenin dalam masa-masa strokenya di ujung kekuasaan.
Selama kekuasaan pemilik tangan kiri yang bermasalah ini Soviet, Marxisme dan Leninisme berada dalam kondisi puncaknya, Soviet tumbuh menjadi negara adidaya baru dan sekalian menjadi sandaran baru bagi negara-negara Asia yang masih bergelut dengan para imperialisme. Marxisme dan Leninisme menyebar kemana-mana, dan menjadi pilihan baru dalam kehidupan bernegara dibanyak wilayah, mulai dari Asia hingga Amerika Latin. Di dalam negeri sendiri Stalin semakin gila pada usaha-usaha mempertahankan kekuasaanya dengan cara represif dan anti kemanusiaan.
Bergeser ke Indonesia, kita juga punya Bapak revolusi yang kita puja-puji, banyak lebel yang kita semat, misalnya: “tanpa bacaannya Indonesia tidak pernah Merdeka” dan sangat banyak lagi embel-embel semacam ini tentunya, baik yang ia buat sendiri, yang dibuat temannya maupun yang dibuat oleh rakyat sendiri. Dalam periode tertentu revolusi pernah menjadi alam pikir bangsa Indonesia dalam bernegara, pada saat yang sama para politisi dan tokoh bangsa kita juga menginjeksi demokrasi sebagai sebuah kesadaran dengan harapan akan menjanjikan kesejahteraan. Tetapi dalam perjalannya kata “revolusi” juga dipakai secara bersamaan sebagai senjata untuk memukul perbedaan pikiran, perbedaan ucapan, perbedaan cara pandang dan perbedaan-perbedaan lain yang sangat banyak, padahal perbedaan-perbedaan ini sebenarnya adalah intisari dari demokrasi yang selalu dijanjikan sebagai perwujudan akhir dari revolusi yang sedang diperjuangkan. Diantara jargon-jargon “revolusi” sebagai alat represif pada masa itu adalah “anti revolusi”, “penghambat revolusi”, “menyalahi prinsip revolusi” dan banyak varian-varian kalimat lainnya. Dan hasilnya sama, beberapa sahabat seperjuangan seperti Syahrir, Mohammad Natsir, Buya Hamka mendekam dalam penjara, ada juga yang diburu membabi buta seperti Kahar Muzakkar, Daud Beureueh, Kasman Singadimedjo, Syafruddin perwiranegara. Satu benang merahnya adalah para pemuja revolusi sedang melihat ancaman pada kekuasaan yang sedang ia mainkan.
Kepemimpinan Indonesi berikutnya tidak jauh berbeda jika kita gunakan kacamata demokrasi dalam memandang perjalanan sebuah negara, akumulasi kekuasaan yang berlebihan memang menjanjikan beberapa hal, namun ia adalah ancaman bagi banyak sendi kehidupan demokrasi, dan akhirnya kekuasaan yang ia pegang juga berakhir dengan cara-cara yang tidak baik.
Reformasi seharusnya menjadi titik balik bagi perjalanan bangsa Indonesia dalam hal memandang revolusi dan demokrasi, namun tidak demikian dikenyataannya. Dalam konteks personal, beberapa orang yang terlibat aktif (sebutlah mereka aktifis) menggalang reformasi 98 dihinggapi dilema saat berada dalam kekuasaan, setidaknya saat berada dalam partai penguasa, ia kemuadian tidak dapat melihat lagi bahwa “kekuasaan berpotensi untuk menindas”, konon lagi kekuasaan tanpa dibatasi. Para demonstran reformasi 98 telah melihat bahwa setiap demo yang muncul saat ini adalah ancaman bagi kekuasaannya, ancaman bagi partainya, ancaman bagi kelompoknya walau kadang sering sekali bahasanya dibungkus dengan “ancaman bagi kesejahteraan rakyat” (sebagaimana dijanjikan demokrasi). Demikian juga secara organisatoris, lembaga-lembaga negara yang baru muncul pasca reformasi ia tidak bisa melepaskan diri dari tarikan dan candu kekuasaan, ia menjadi maslah baru dalam kehidupan bernegara. Duh, dilemanya para pemuja demokrasi!
Lihatlah beberapa partai politik saat ini (pasca reformasi) yang berlabel “demokrasi” seperti apa model pembagian kekuasaan di internal partai? Seperti apa model peralihan kepemimpinan di dalamnya? Sangat menggambarkan budaya otoriter dan dinasti, sesuatu yang sangat tidak dicita-citakan oleh “demokrasi” Demikian juga partai-partai lain, sudahkah regenerasi kepemimpinan di internal mereka dilakukan dengan cara demokratis tanpa transaksional? Jika kita cermat menilik alam kehidupan partai, maka tersirat jelas pesismisme kepemimpinan yang baik berikutnya untuk bangsa kita lahir dari partai politik.
Lalu Apa?
Satunya-satunya cara agar para pemuja revolusi dan demokrasi tidak terjebak dalam dilema revolusi dan demokrasi adalah dengan membangun alam pikiran “baharu”. Pesan abad 19 jelas; power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely"-Lord Acton- (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut), sehingga saat reformasi 1998 Indonesia melakukan pembatasan masa kekuasaan presiden. Sedangkan yang paling penting juga adalah pesan ketuhanan, pesan ketuhanan memperlihatkan bahwa para nabi diutus secara estafet, bahkan bagi yang bergama Islam untuk pesan yang sama (tauhid) Allah mengutus setidaknya 25 orang nabi/rasul (bahkan ribuan menurut ahli ilmu agama islam), secara tersirat hal ini memberi pesan bahwa ideologi apapun jika tidak dibangun sisi kebaharuannya maka ia akan berpotensi punah atau setidaknya tidak baik.
Kebaharuan dalam bernegara tentunya tidak bisa hanya berada dalam alam pikiran, ia perlu distrukturkan dalam bentuk nyata berbentuk aturan-aturan yang merupakan kesepakatan seluruh warga negara. Disinilah masalahnya di kita, para pembuat undang-undang kita (legeslatif) terlalu banyak mengesampingkan kepentingan bangsa dibandingkan kepentingan kelompok dan partai, padahal kehadiran partai diharapkan dapat memelihara kelangsungan demokrasi sehingga dapat menciptakan kesejahteraan.
Kalimat Lord Acton di atas bukanlah hal baru dalam wacana bernegara kita, tetapi kalimatnya terlalu “menyakitkan” mungkin untuk diterjemahkan oleh partai-partai pemenang pemilihan dalam bentuk aturan-aturan, artinya partai politik sebagai pihak yang mendominasi parlemen selalu berpikir untuk berkuasa sepanjang masa, sehingga aturan-aturan yang muncul sesudah menguasai parlemen sangat bergantung pada keberlangsungan partai, padahal kita mempunyai khazanah politik yang baik saat diawal-awal kemerdekaan (perdebatan-perdebatan kebangsaan saat sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Untuk kondisi saat ini arah perjalanan kebangsaan kita masih sangat ditentukan oleh keberadaan legeslatif, keberadaan lembaga ini juga tentunya sangat ditentukan oleh ekosistem partai politik yang mengirim mereka, yang akhir-akhir ini menunjukkan gejala yang tidak baqik. Setidaknya kita butuh "sentuhan besar", supaya arah dan jalan kebangsaan kita kembali pada trek yang benar. Wallahualam.
Komentar