GARUT (Marantha arundinacea L.)/SAGENATA
(POTENSI KARBOHIDRAT YANG BELUM DISENTUH)

Oleh: Muhammad Taufiq Muhdi*

 
Tampilan batang dan daun garut
Penganekaragaman pangan kembali menjadi sangat penting seiring dengan munculnya isu ketahanan pangan atau kedaulatan pangan, karena salah satu dimensi penting kedaulatan dan ketahanan pangan adalah adanya keanekaragaman konsumsi bahan pangan yang berbasis pada sumberdaya lokal. Upaya penganekaragaman pangan dapat dilakukan dengan (1) usaha eksplorasi dan pemanfaatan potensi bahan lokal unggul (2) perbaikan dan aplikasi teknologi budidaya, pengolahan, pengemasan (3) pengaplikasian konsep pengindustrian pangan (Hariyadi, 2011).

Tanaman dengan potensi karbohidrat baik yang dilupakan adalah tanaman garut. Sangat sedikit dari kita yang mengenal tanaman garut sebagai bahan makanan, ketika disebutkan garut yang terlintas dalam ingatan kita adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat, padahal garut (Marantha arundinacea L.) dapat menjadi salah satu sumber pangan yang bisa mendukung penganekaragaman bahan pangan di Indonesia. Bagian tanaman garut yang digunakan sebagai makanan adalah akar umbi yang mengandung karbohidrat. Tanaman garut merupakan salah satu sumber bahan pangan lokal yang sudah dikembangkan di Yogyakarta dan memiliki nilai ekonomi yang cukup baik dan mudah dibudidayakan. (Djaafar et al., 2010). Di Jawa Timur secara tradisional garut telah dibuat menjadi makanan ringan berbentuk emping (Pribadi et al., 2002).
Di Aceh Bagian Barat dan Selatan tanaman garut dikenal dengan nama Sagenata, tanaman ini sebenarnya secara praktis telah ditanam diseluruh bagian geografi Barat Selatan, hanya saja pemanfaatannya sebagai sumber karbohidrat belum menjadi pengetahuan umum. Kebanyakan tanaman garut yang di tanam masyarakat sebagai tanaman bunga. Tanaman ini juga dikenal sebagai tanaman obat, biasanya digunakan untuk panas dalam atau sariawan, dengan memakan langsung atau dengan dipera patinya. Jika dilihat dari segi pertumbuhan tanaman batang dan pertumbuhan umbi, seluruh daerah di Aceh atau Aceh Barat/Selatan sangat cocok untuk dibudidayakan secara massif dengan sedikit sentuhan teknologi pada pada proses budidaya dan perawatan. Juga dibutuhkan tangan terampil untuk pengolahan pascapanennya.
Menurut Arimbi (1998 dalam Djaafar, 2008) tanaman garut termasuk dalam familia Marantacea, tanaman ini merupakan tanaman herba, tegak, berumpun, dan merupakan tanaman tahunan. Tinggi tanaman mencapai 1-1,5 m dengan batang berdaun dan mempunyai percabangan menggarpu. Tanaman garut dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dan beragam ketinggian tempat serta di bawah naungan.

Umbi garut yang tumbuh di dalam tanah
Karakter morfologis garut yang ada di Indonesia hampir semuanya sama, kecuali garut lokal asal Lebak (Jawa Barat) yaitu daun berwarna hijau belang putih. Demikian juga halnya karakter umbi garut, tidak terdapat perbedaan dalam sifat fisikokimia, ini menunjukkan bahwa asal tanaman garut di Indonesia berasal dari induk yang sama (Suhartini dan Hadiatmi, 2011). Namun komposisi kimia umbi garut terdapat perbedaan jumlah akibat pengaruh lingkungan dan teknis budidaya, jumlah komposisi kimia pati garut pada berbagai umur panen cukup bervariasi. Menurut Maulani et al. (2010) kadar lemak dan protein yang tertinggi diperoleh dari pati yang berasal dari umbi umur 8 bulan yaitu 1,32% dan 1,52%. Kadar karbohidrat tertinggi pada pati yang berasal dari umbi umur 12 bulan, yaitu 88,96%, kadar serat tertinggi pada pati yang berasal dari umbi umur 12 bulan, yaitu 11,61%. Kadar abu tertinggi pada pati yang berasal dari umbi umur 8 bulan, yaitu 0,73%. Kadar air pati tertinggi pada pati yang berasal dari umbi umur 11 bulan, yaitu 14,87%.

Menurut Pangestuti (2007) pati garut mampu mensubstitusi tepung terigu yang berasal dari gandum sampai 50%. Perlakuan subtitusi pati garut 50% dengan tepung terigu 50% merupakan hasil yang terbaik sebagai bahan untuk membuat roti cake, yaitu dengan kadar air sebesar 27,54%, kadar abu sebesar 2,53 %, kadar protein sebesar 8,79%, kadar lemak sebesar 3,92%, kadar gula reduksi sebesar 23,07% dan tingkat muai volume roti cake yang mencapai 8,16 dan memiliki tekstur sebesar 31,33 mm/g detik dan tingkat organoleptik rasa sebesar 3,95 dan untuk kenampakan sebesar 3,75. Substitusi sampai 50% dapat bermakna bahwa garut bisa mengurangi ketergantungan impor gandum untuk kebutuhan pangan sampai 50%.

Dari segi teknis agronomi Djaafar (2010) mengatakan bahwa tanaman garut mampu tumbuh optimal pada lahan marjinal dan di bawah pohon. Mubarak (2012) menambahkan bahwa pertumbuhan dan hasil tiap kualitas garut pada kondisi ternaungi menunjukkan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan pertumbuhan dan hasil pada kondisi tanpa naungan. Adaptasi tanaman garut terhadap penurunan intensitas cahaya adalah dengan meningkatnya luas daun tanaman, lebar bukaan stomata, kehijauan daun/klorofil dan tinggi tanaman.

Tanaman ini tidak membutuhkan karakter tanah tertentu untuk tumbuh normal, hanya saja pada tanah gambut/bergambut umbi yang terbentuk sedikit lebih kecil, hal ini sebenarnya dapat diatasi dengan pemupukan yang tepat. Karakteristik tumbuh optimal dibawah tegakan menjadikan tanaman garut sangat berpotensi untuk ditumpangsarikan dengan tanaman perkebunan lain, seperti sawit umur<5 tahun, sela tanaman pisang, sela tanaman pala, sela tanaman kakao dan sela tanaman hutan lainnya seperti jati, kemiri, jengkol dan lain-lain. Menurut Drajat et al. (1999) tanaman garut yang ditanam pada tanaman kakao muda tetap menghasilkan bobot umbi dan kualitas pati yang tinggi, serta tanaman kakao muda tidak terpengaruh pertumbuhannya akibat ditumpangsarikan dengan tanaman kakao.[*Guru SMKN 5 Aceh Barat Daya]

Komentar

Postingan populer dari blog ini